Senin, 23 Juli 2012

Strategi Pemasaran Es Krim

Tak hanya nikmat di rasa, es krim rupanya juga memberi kenikmatan tersendiri bagi para produsennya. Buktinya, dalam lima tahun terakhir, tingkat pertumbuhan pasar es krim di Indonesia sedikitnya 20% setiap tahun. Tahun 2007, umpamanya, total pasar es krim sudah mendekati angka 100 juta liter dengan nilai absolut di atas Rp 2 triliun.

Padahal tingkat konsumsi es krim di Indonesia masih tergolong rendah, hanya 0,2 liter/orang/tahun. Tak usah dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat yang tingkat konsumsinya sudah mencapai 21 liter/orang/tahun, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia saja, tingkat konsumsi es krim di Indonesia masih sangat jauh di bawahnya. Di kedua negara itu tingkat konsumsi es krim sudah mencapai angka 1,2-2 liter/orang/tahun.

Lambatnya penetrasi es krim di Indonesia boleh jadi karena hanya ada sedikit pemain yang menggarapnya secara nasional. Kebanyakan produsen es krim adalah industri rumah tangga yang pasarnya terbatas di daerah tertentu, dan tidak terpantau oleh data riset. Adapun pemain nasional bisa dihitung dengan jari, seperti PT Campina Ice Cream Industry yang mengusung merek Campina; PT Unilever Indonesia Tbk. (UI) dengan merek Wall’s; PT IndoMeiji Dairy Food yang mengusung merek Indo es krim Meiji; dan PT Sukanda Jaya lewat merek Diamond.

Kendati pemainnya sedikit, persaingan es krim tergolong cukup sengit. Terutama bagi dua pemain terbesar: Campina dan Wall’s yang menguasai hampir 80% pasar, terlihat saling kebut menciptakan pasar. Wall's yang datang belakangan tahun 1992, telah mengubah bisnis es krim di Indonesia. Kemampuan UI meracik strategi pemasaran Wall’s mengubah dinamika pasar sangat cepat.

Keberhasilan Wall’s membuat Campina tidak tinggal diam. Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1970 ini melakukan serangkaian perubahan. Langkah awal yang diayunkan adalah membenahi divisi penjualan dan pemasaran. Divisi ini dijadikan sebagai ujung tombak perusahaan. Sejumlah profesional yang dinilai memiliki kompetensi di bidangnya direkrut. Dan, pada tahun 1998, Campina meningkatkan kapasitas produksinya sekaligus merenovasi pabrik.

Beberapa amunisi pun dimuntahkan Campina. Pertama, dari sisi produk. Campina terus berinovasi dengan meluncurkan berbagai jenis dan rasa baru untuk dapat memenuhi selera pasar. Kini, jumlah varian yang dimiliki Campina sudah sebanding dengan jumah varian Wall’s. Peluncuran varian-varian baru itu juga selalu didasarkan pada riset konsumen.


Selain produk, distribusi dibenahi pula. Jumlah kantor cabang terus ditambah. Saat ini Campina telah memiliki 11 kantor perwakilan di Pulau Jawa, serta di dukung oleh belasan distributor di luar Jawa. Jumlah itu akan terus bertambah seiring pengembangan pasar yang akan terus dilakukan oleh Campina.

Selain mengandalkan ritel gerai yang jumlahnya amat besar, sejak pertengahan tahun 2005, Campina menerapkan sistem punjualan baru. Pola yang digunakan sangat mirip dengan pola waralaba, hanya saja Campina tidak menarik fee waralaba ataupun fee royalti. Sistem penjualan ini dinamakan Campina Scoop Counter (CSC), yaitu konter penjualan Campina dalam satuan scoop. Ini merupakan langkah untuk meningkatkan penetrasi produk es krim di tengah masyarakat.
Dengan kemudahan itu, sekarang terdapat ratusan gerai CSC yang sebagian besar berlokasi di Indonesia. Sebuah langkah jitu karena salah satu kendala es krim adalah penetrasinya yang masih kurang. Dengan mengajak masyarakat untuk ikut andil dan mendapat keuntungan, penetrasi es krim bisa meningkat dengan lebih cepat.

Sumber : Majalah SWA 2007